WARU
ATAU BARU
Waru atau baru (Hibiscus
tiliaceus, suku kapas-kapasan atau Malvaceae), juga dikenal sebagai waru laut
telah lama dikenal sebagai pohon peneduh tepi jalan atau tepi sungai dan
pematang serta pantai. Walaupun tajuknya tidak terlalu rimbun, waru disukai karena akarnya tidak
dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Waru dapat
diperbanyak dengan distek.
Tumbuhan ini asli dari daerah tropika di Pasifik barat namun sekarang tersebar luas
di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii),
purau (bahasa Tahiti).
Pengenalan
Pohon kecil, tinggi 5–15 m. Di tanah yang subur tumbuh lebih lurus dan dengan tajuk yang lebih sempit daripada di tanah
gersang
Daun bertangkai, bundar atau bundar telur bentuk jantung dengan tepi rata, garis tengah
hingga 19 cm; bertulang daun menjari, sebagian
tulang daun utama dengan kelenjar pada pangkalnya di sisi bawah daun; sisi
bawah berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bundar telur memanjang, 2,5 cm,
meninggalkan bekas berupa cincin di ujung ranting.
Bunga berdiri sendiri atau dalam tandan berisi 2–5 kuntum. Daun
kelopak tambahan bertaju 8–11, lebih dari separohnya berlekatan. Kelopak
sepanjang 2,5 cm, bercangap 5. Daun mahkota bentuk kipas, berkuku pendek dan
lebar, 5–7,5 cm, kuning, jingga, dan akhirnya kemerah-merahan, dengan noda ungu
pada pangkalnya. Buah kotak bentuk telur, berparuh pendek,
beruang 5 tak sempurna, membuka dengan 5 katup.[2] Jarak pengembangan senyawa pada
kromatogram biasanya dinyatakan dengan Rf atau hRf. Angka Rf berjangka antara
0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal, hRf adalah angka Rf
dikalikan faktor 100 (h) menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100. Nilai Rf
pada bunga waru sendiri sebesar 0,5 Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran
terhadap kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan
ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm. Waru biasa ditemui di pesisir
pantai yang berpasir, hutan
bakau, dan juga
di wilayah riparian.
Kegunaan
Kayu
terasnya agak ringan, cukup padat, berstruktur cukup halus, dan tak begitu
keras; kelabu kebiruan, semu ungu atau coklat keunguan, atau kehijau-hijauan.
Liat dan awet bertahan dalam tanah, kayu waru ini biasa digunakan sebagai bahan
bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar.
Dari kulit batangnya, setelah direndam dan dipukul-pukul, dapat diperoleh serat
yang disebut lulup waru. Serat ini sangat baik untuk dijadikan tali.[1]
Daunnya
dapat dijadikan pakan ternak, atau yang muda, dapat pula
dijadikan sayuran. Daun yang diremas dan dilayukan digunakan untuk mempercepat
pematangan bisul. Daun muda yang diremas digunakan
sebagai bahan penyubur rambut. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak
pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup daunnya digunakan untuk mengobati
berak darah dan berlendir pada anak-anak.[1]
Daunnya
juga digunakan sebagai pembungkus ikan segar oleh pedagang di pasar dan
pedagang ikan keliling. Bunga waru dapat dijadikan jam biologi. Bunganya mekar
di pagi hari dengan mahkota berwarna kuning. Di siang hari warnanya berubah
jingga dan sore hari menjadi merah, sebelum akhirnya gugur.
1 komentar:
Aspek-aspek yang disinggung dlm pembahasan suatu jenis tumbuhan sdh OKEEE:
-Taksonomi
-Sifat botanis (morfologi)
-Ekologi (habitat, penyebaran)
-Kegunaan terpenting
Lebih mantabs jk terpampang nyata gambar pohon Waru nya...
Hutan Indonesia biodiversitas tbh-an sangat tinggi shg Pengenalan Pohon ( dlm Ilmu Kehutanan, dsbt Dendrologi) seperti ini sgt penting krn ) utk :
.Mensistematiskan pengetahuan ttg pohon2 yg banyak jenis & ragamnya
.Memberikan pedoman utk pengenalan jenis-jenis pohon
.Memahami berbagai macam variasi (terutama variasi phenotipe)
Posting Komentar